Rabu, 17 Agustus 2011

Shoegaze dan Postrock, Dua Hal Berbeda.

Kedua genre turunan dari alternative rock ini kerap mengalami miskonsepsi di skena lokal. Terkesan campur aduk, dan terjadi labelisasi sekenanya tanpa memahami konteksnya. Shoegaze dan post rock tak lain dua entitas yang berbeda sama sekali, meski sama-sama turunan DNA dari alternative rock.

Sebuah posting di wastedrockers, berhasil memancing atensi saya. Judulnya Grunge Gods Live II, sebuah acara grunge di Kemang yang direview oleh Dede. Artikel bercerita tentang tema acara penghormatan terhadap Nirvana, Alice in Chain, hingga Pearl Jam, dengan line up band-band lawas plus beberapa selebritis musisi. Serunya, Dede mengkritik pedas, acara tersebut tak lebih sekadar kumpul-kumpul orang-orang yang hanya mendengarkan band-band mainstream saja, tapi tak kenal para bandit sesungguhnya dari Grunge, seperti Bikini Kills ataupun Blood Circus.

Saking pedasnya, komentar tajam mengalir di postingan tersebut. Mulai dari yang emosional hingga berkepala dingin. Dede sebenarnya gelisah saja atas minimnya apresiasi dan keingin tahuan skena lokal terhadap musik mereka. Terkesan subyektif dan bicara selera musik. Namun jika sekadar bicara selera saja tanpa memahami esensi dan sejarah dari apa yang kita nikmati selama ini, malah terkesan banal dan kering.

Kegelisahan ini sempat dialami beberapa rekan tentang skena shoegazing lokal, sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu, banyak band-band bernuansa delay dan reverb, langsung dianggap shoegaze. Tema galau dan musik bunuh diri, menjadi labelisasi shoegaze. Postrock itu shoegaze, dan sebaliknya. Begitu sumir dan sekenanya.

Sebuah artikel dari allmusic.com, terposting di blog ini dan menjelaskan secara ringkas dan informatif tentang shoegaze sebagai genre. Wikipedia pun juga memiliki lembar laman yang membahas tentang shoegaze. Allmusic.com bahkan merilis rekomendasi album-album shoegaze dan para artisnya. Sebenarnya ada segudang informasi yang bisa ditemukan di dunia maya tentang shoegaze itu sendiri.

Campur aduknya alias miskonsepsi shoegaze tak muncul tiba-tiba. Pesona Sigur Ros yang semakin merebak pada pertengahan 2000-an, bisa menjadi contoh sederhana. Kontur musik Sigur Ros yang ambient, berbalut delay plus frekuensi tak putus dari e-bow memang mirip dengan Slowdive yang bercorak sama. Gelombang band-band bertipikal sama seperti Sigur Ros, seperti EITS, Hammock, Mogwai dan lainnya menjadi sensasi mengasyikan bagi semua orang, termasuk saya.

Post-rock group Sigur Ros performs at a 2005 concert in Reykjavik.

Apa yang dilakukan Sigur Ros, dan band postrock lainnya dengan elemen ambient dan meruang ini merebak pada akhir 1990-an dan 2000-an. Komposisi musik postrock bisa lebih dari lima menit, seperti sebuah plot sebuah kisah yang bermomentum. Allmusic.com menyitir postrock sebagai genre eksperimental, yang lebih fokus kepada racikan tekstur dan sound ketimbang struktur dan hook melodik. Postrock sendiri dirintis Talk-Talk dan Slint sejak 1991 dengan meracik jazz, ambient hingga chamber pop, berbeda dengan postrock saat ini yang dikritik allmusic.com tak berkembang dinamis dan dan progresif seperti dekade 1990-an.

Shoegaze sendiri sungguh jauh berbeda. Istilahnya muncul gara-gara labelisasi jurnalis tabloid musik di Inggris di akhir 1989-an yang menyaksikan munculnya gerombolan band-band yang lebih mengedepankan tsunami kebisingan dari gitar dan agak menenggelamkan vokal penyanyinya. Struktur musik mereka lebih simpel sebagai sub genre alternative rock. My Bloody Valentine, Moose, Slowdive, hingga Ride menjadi profil utama dari musik shoegaze.


Shoegaze's pioneer, My Bloody Valentine performs at ATP, New York, on 2008.

Genre shoegaze hanya bertahan hingga tahun 1992, setelah gelombang Britpop yang dilakoni Suede cs., merajalela di Inggris dan AS (serta Indonesia) selama lima tahun. Band-band shoegazing ada yang bubar dan vakum, sisanya seperti Boo Radleys dan Lush berhasil berevolusi dan memperpanjang usianya. Namun pada dekade 2000-an, sensasi shoegazing lahir kembali melalui generasi baru seperti Serena Maneesh, A Place to Bury a Stranger, Ringo Deathstarr, hingga Tamaryn. Dan band-band ini justru berbeda sekali dengan Sigur Ros atau EITS. Mereka tetap seperti pada pendahulunya, dengan komposisi simpel dan mengandalkan kebisingan maksimum pada musiknya, distorsi, fuzz, tremolo dan juga modulasi.

Masalahnya, pemahaman yang terbatas dan sempit telah mendistorsi shoegaze dan postrock sebagai dua entitas musik berbeda. Keduanya genre musik yang menarik dan unik, tanpa bermaksud merendahkan satu sama lain. Postrock kebetulan saja juga memakai unsur modulasi delay dan reverb pada lagu-lagunya, yang mana dipakai pula oleh sebagian band shoegaze.

Hanya saja, jika labelisasi shoegazing pada segala musik yang berkesan murni khas postrock hanya karena sama-sama bernuansa meruang dan ambient, dan parahnya diikuti istilah musik bunuh diri dan kegalauan pada shoegaze, malah tampak mendistorsi keeleganan dan keunikkan dari shoegaze dan postrock itu sendiri.

Saat ini, sudah mulai banyak atensi yang semakin memerhatikan diferensiasi dari kedua genre ini. Tiga tahun lalu, sebuah inisiatif dari beberapa teman yang mencoba meluruskan miskonsepsi tersebut dengan membuat sebuah acara Tribute to 90's Shoegaze dengan nostalgia band-band lawas seperti MBV, Slowdive, Ride, Chapterhouse, Moose, hingga Swervedriver! Jelas band-band tadi ada yang jarang disinggung bahkan belum pernah ditampilkan dalam sebuah acara di tanah air.

Tentu kita tidak mau terlihat sekadarnya dalam menikmati musik yang tersimpan di hardisk, ipod, atau bahkan koleksi cd dan vinil di lemari. Lebih detil dalam mengenali apa yang kita sukai, dan memaknainya dengan semestinya, jauh lebih seru ketimbang meracau kesana kemari tentang musik bunuh diri dan kegalauan secara berlebihan. Toh, membunuh diri dilarang oleh setiap agama, bukan!?

I.S.

7 komentar:

  1. Tulisan yang bagus, dan sangat membantu. Well, gw mohon ijin copy artikelnya yah di sini :

    http://www.kaskus.us/showpost.php?p=589531803&postcount=5951

    BalasHapus
  2. slint memang dianggap pionir post rock, tapi sejatinya, dia cuman mendapat spotlight,rodan,Pele dan bahkan american football juga ikut andil dalam perkembangan post-rock.If There's No Pele, There would be no Toe. tapi back again ini memang bukan deep artikel tentang post rock tapi beda post rock ama shoegaze :p

    BalasHapus
  3. yep, artikel ini memang tidak terlalu dalam membedah soal kedua genre ini, kecuali mencoba menjernihkan saling silang asumsi-asumsi yang muncul di luaran. but thanks for the info, comment and opinion, really appreciate it :)

    BalasHapus
  4. wah, udah ada yang bahas rupanya, saya ikut senang

    BalasHapus
  5. dua-duanya juga enak sih, tapi paling suka ke band sigur ros, apalagi yang judulnya hoppipola, udah deh ga tau kenapa tiba-tiba sakit hati :(

    BalasHapus
  6. tapi dengan adanya beberapa band shoegaze sekarang (nothing, whirr, dll) banyak bertemakan sedih, putus asa, dan dibalur dengan distorsi dan reverb shoegaze memang kerap dicap sebagai musik sedih, mendengarkan my bloody valentine di album loveless pun juga sedih, jikalau mendengar slowdive lebih dibawa "melayang" ketimbang mendengarkan my bloody valentine yang dibawa "tenggelam" kedalam distorsinya yang dalam. Post rock pun juga sedih jika mendengarkan this will destroy you di album tunnel blanket yang banyak noise dan distorsi, tapi semua balik lagi tergantung yang mendengarkan dan menangkap musiknya hehehe.

    BalasHapus